KABARSULSEL.COM, MAKASSAR - Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membayarkan kompensasi (ganti rugi dari negara) kepada 10 korban tindak pidana terorisme masa lalu. Kesepuluh orang tersebut merupakan korban dari beragam peristiwa terorisme yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan sejak tahun 2002.
Kompensasi diserahkan langsung oleh Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution dan Livia Iskandar di Hotel The Rinra, Makassar, Sulawesi, Jum’at (22/01/2021). Penyerahan kompensasi kepada korban dilaksanakan secara sederhana dan tetap mematuhi protokol kesehatan Kegiatan ini juga disaksikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Kapolda dan Kajati Sulawesi Selatan serta beberapa tamu undangan lainnya.
Mgid
GLUCOACTIVE
Kabar Baik Indonesia! Diabetes Mudah Diobati dengan Lakukan Ini
PELAJARI LEBIH→
Total nilai ganti kerugian (kompensasi) yang dikeluarkan oleh negara untuk sepuluh korban terorisme tersebut mencapai Rp. 2.015.000.000,- Besaran nilai kompensasi yang diterima oleh korban telah mengikuti skema satuan biaya yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan rincian: Rp250.000.000, untuk korban meninggal dunia; Rp.210.000.000 untuk korban dengan kondisi luka berat; Rp. 115.000.000 untuk korban luka sedang dan Rp. 75.000.000 untuk korban luka ringan;
Untuk korban terorisme di Sulawesi Selatan yang menerima kompensasi terdiri dari 6 orang korban meninggal dunia, 1 orang mengalami luka berat, 2 orang luka sedang dan 1 orang mengalami luka ringan. Untuk korban meninggal dunia, kompensasi diserahkan kepada ahli warisnya.
Adapun peristiwa terorisme yang mereka alami adalah Bom McDonalds Makassar (2002), Bom Cafe Bukti Sampodo Palopo (2004), Bom Polsek Bontoala (2018) dan beberapa perisitwa penyerangan dan penembakan yang menyasar anggota kepolisian. Ada satu peristiwa terorisme yang terjadi di Solo, Jawa Tengah, namun korbannya berdomisili di Kabupaten Pinrang.
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyatakan penyerahan kompensasi pada kesempatan kali ini merupakan wujud implementasi UU No 5 Tahun 2018. Menurut Nasution, sejak UU itu terbit, jalan pemulihan bagi korban terorisme terasa makin mulus. Sebab, negara secara benderang telah menyatakan bahwa seluruh korban terorisme merupakan tanggung jawabnya. UU No 5 Tahun 2018 merupakan regulasi yang sangat progresif dan menunjukan keberpihakan terhadap korban terorisme.
“Salah satu hal istimewa dari Undang-Undang ini adalah munculnya terobosan hukum yang membuka kesempatan bagi korban terorisme masa lalu untuk mendapatkan kompensasi tanpa melalui jalur pengadilan,” ujar Nasution.
Dalam penjelasan UU tersebut, yang dimaksud korban terorisme masa lalu adalah Korban langsung yang diakibatkan dari tindak pidana Terorisme sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 berlaku ditarik hingga peristiwa bom Bali 1 tahun 2002. Aturan yang lebih teknis menjabarkan Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban sesuai yang diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 diatur dalam PP No 35 Tahun 2020 yang baru terbit pada Juli 2020;
Nasution mengatakan, kesepuluh korban yang mendapatkan kompensasi pada kesempatan kali ini merupakan bagian dari 215 korban terorisme masa lalu yang telah berhasil teridentifikasi dan diinventarisasi. LPSK telah berhasil menetapkan sebanyak 215 Korban terorisme, baik yang berstatus sebagai korban langsung maupun korban tindak langsung (ahli Waris dari korban yang meninggal dunia). Sejumlah korban tersebut berasal dari 40 peristiwa terorisme di masa lalu, besaran nilai kompensasi yang akan dibayarkan mencapai Rp 39.205.000.000.
“Penyerahan perdana secara simbolis diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Desember 2020 di Istana negara, selanjutnya LPSK akan menyampaikan langsung ke setiap wilayah dimana korban berdomisili,” tambah Nasution.
Pada kesempatan yang sama Wakil Ketua Livia Iskandar mengatakan nilai kompensasi yang diterima tentu belum sebanding dengan penderitaan korban yang telah menanti selama belasan tahun, dimana korban mungkin mengalami degradasi ekonomi karena kehilangan pekerjaan dan kehilangan kesempatan mencari nafkah, trauma psikologis yang dialami bertahun-tahun, derita fisik yang tidak dapat disembuhkan serta mendapat stigma karena kondisi fisik.
“Namun, kehadiran negara saat ini diharapkan menjadi suntikan semangat baru bagi korban untuk melanjutkan hidup di masa yang akan datang,” ujar Livia
Livia berharap kompensasi yang diterima oleh para korban, dapat dimanfaatkan secara bijaksana serta dapat digunakan oleh para korban untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi korban. LPSK pun telah merancang program pendampingan melalui kegiatan pelatihan dan pembekalan keterampilan bagi para korban tindak pidana, khususnya korban terorisme.
“LPSK berharap agar pemerintah daerah untuk membantu pendampingan kewirausahaan untuk para penyintas tindak pidana yang telah mendapat hak kompensasinya,” pungkas Livia. (**)